Ruangan besar di aula sekolah terasa kian
hening ketika alunan lagu Only Hope dimainkan
Riri dengan pianonya. Suara denting piano membuat kesan indah itu serasa emosional
oleh perpaduan tema dan lirik lagu yang
pas. Riri memainkan
lagu Mandy Moore dengan sempurna bagi telingaku. Seiring tuntas
permainan pianonya, rasa haru menyeruak
seketika tatkala Riri menyebut namaku. “Sudah Bu Ratna, turunkan aku,” sambil
tersenyum ia minta pertolonganku untuk memapahnya, untuk kembali duduk di kursi
rodanya.
Usianya 8 tahun 4 bulan saat orangtuanya
membawa Riri mendaftar pindah sekolah.
Secara fisik keadaan Riri biasa saja, tetapi dari sorot matanya ia terlihat
tidak fokus. Kakinya terkena penyakit Polio. Riri juga didiagnosa autisme, salah
satu karakter kognitif yang dominan adalah bermasalah dengan teori berpikir dan
pemecahan masalah. Sambil menangis, orangtuanya bercerita bahwa dalam setahun itu
Riri sudah 2 kali pindah sekolah karena sikapnya sering tidak terkendali dan sering dianggap
merugikan sekolah. Tingkahnya yang tidak bisa kulupa di sesi wawancara orangtua
itu adalah saat pandangan Riri tertuju pada pianika di atas meja kerjaku. Riri langsung mengambilnya
untuk dimainkan meski dengan nada asal. Tanpa kusadari, Riri sudah mencuri
perhatianku dan berjanji pada diriku untuk membantunya bangkit dari ‘dunia
asing’nya. Akan kutemani Riri
menjemput masa depan dengan kemampuan musikalitasnya yang
tinggi. Bukan kepada Riri saja, aku selalu ingin menemani murid-muridku yang
lain ketika mereka berproses menemukan dunia
mereka sendiri.
***
Suatu petang … tiba-tiba ……bruuuk ….
dunia terasa gelap saat aku jatuh pingsan di depan sebuah warung makan. Aku
tersadar setelah berada di rumah sakit. Kurasakan badanku demam dan terasa
sakit semua.“Rawat inap,” kata itu diucapkan seorang dokter kepadaku di ruang
UGD Rumah Sakit di Yogyakarta. Demamku sudah lebih 4 hari karenanya harus diobservasi
dan perlu rawat inap. Dalam
tiada berdaya, kujawab lirih, “iya”.
Dari hasil pemeriksaan, demamku berasal
dari benjolan di dalam payudara kanan yang meradang besar dan memerah akibat
infeksi. Jalan keluarnya, “operasi!” kata dokter. Kata itu jelas-jelas bukan mantra
penjinak kegalauan. Kata itu pula yang beberapa tahun ini kuhindari demi berharap
datangnya mukjizat
agar benjolan itu raib sendiri.
“Operasi itu hal biasa, tidak apa apa,”
demikian komentar banyak orang berusaha menenangkanku. Tetapi yang kurasakan: sampai
hari ketiga usai operasi, tubuhku tanpa tenaga, lemas dan terus muntah, dan rasa
nyeri di bagian dada. Lagi-lagi, untuk menenangkanku, para kerabat yang
menengokku menyampaikan, “tidak apa apa. kemungkinan
itu efek dari bius.”
Sampai beberapa waktu aku dirawat oleh dokter
anestesi, dokter bedah, dokter penyakit dalam, serta ditambah dokter paru
karena setelah operasi kondisiku tambah
sesak napas. Aku masih
harus sabar menunggu hasil biopsi untuk menentukan pengobatan selanjutnya. Tatapan tak berdaya yang
mengiringi deraian air mataku mencekat
lidahku sehingga bungkam ketika aku mengikuti sesi konsultasi di kamar Rumah
Sakit. Dokter
memberikan surat dari Patologi Klinik yang menerangkan tentang hasil biopsi. Di
penghujung surat ada kalimat yang tertulis memanjang:
“Sitologi AJH regio mammae sinistra: didapatkan
sel ganas, karsinoma duktal grade 3-4.”
Pemahamanku berebut tempat di dalam pikiran ketika dokter
berusaha menjelaskan panjang lebar kondisiku sambil melihat rekam medisku. Pikiranku menerobos
lorong waktu saat awal masuk rumah sakit. Aku terjatuh usai menderita demam
tinggi. Hal itu
bisa jadi karena kanker payudara mengalami inflamasi sehingga tidak ketahuan
dan sering dianggap infeksi atau
yang biasa disebut mastitis,
sehingga aku diberi obat antibiotik. Memang, sebelum jatuh pingsan, aku sudah
merasakan demam cukup lama. Rasa sakit itu hanya kusuapi dengan parasetamol.
Dokter menambahkan keterangan ini …itu …
bla .. bla .. bla … dan seterusnya … dan yang kutangkap hanya dua
kata: kanker payudara, titik! Kata itu begitu sakti menyedot seluruh emosiku
melebihi rasa sakit nyeri dan sesak napas yang kurasakan. Aku terdiam beberapa
saat, dan setelah bisa mengusai diriku dan menahan air mata, dalam kepasrahan
kukatakan dengan lirih, “Alhamdulillah,
Allah sangat sayang pada saya, dok ....saya diingatkan betapa besar kuasa-Nya dengan diberi
rejeki sakit …. Bismillah, saya
ikhlas dan insyaAllah
saya sembuh ya, dok.”
Sejenak kami sama sama terdiam sesaat.
Seperti kaget dengan reaksiku, dokter itu berkata, ‘Ibu, insyaAllah akan
sembuh. Allah mendengar yang tadi ibu ucapkan. Ikhlas, semangat, dan ikhtiar ya
Bu. Setelah ini, Ibu akan menjalani proses pengobatan yang panjang …. …… ” aku
sudah tidak mampu mendengarkan lagi.
Tak ada manusia yang terlahir sempurna...
Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi..
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat..
Seakan hidup ini tiada artinya lagi..
Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi..
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat..
Seakan hidup ini tiada artinya lagi..
Bait lagu D’Masiv yang sangat
inspiratif menjadi sangat melodramatis di
tengah keadaanku saat itu. Aku menangis dalam kebingungan yang khusyuk:
Aku harus bagaimana? Mengapa harus
aku yang mengalami? Bagaimana dengan murid-muridku
(terbayang wajah cantik Riri dan murid-muridku yang lain)? Bagaimanadengan studiku (kebetulan saat
itu aku sedang tahap penyelesaian studi magister yang dibiayai oleh lembaga tempatku
bekerja). Bagaimana dengan anakku? Dalam tangisanku, semua pertanyaan harus
kutelan sendiri. Mungkin
benar, saat itu aku sedang mengalami fase denial,
fase pengingkaran seperti tidak percaya kenyataan bahwa itu tidak mungkin terjadi
apalagi aku sangat menjaga pola makan dan rajin berolahraga.
Sampai
di sini...
Sampai kemudian mengingat nama Anaf
anakku menghentikan tangisanku seketika. Astaghfirullah
hal ‘adzim, aku istighfar
berulang hingga tangisku berhenti..Allah pasti tidak salah memberi cobaan hamba
NYA, kalau aku sayang pada Anaf dan masih ingin mendampinginya maka aku harus
luruskan niatku untuk sembuh. Kewajibanku adalah ikhtiar dan selebihnya kuasa
Allah penentunya.
Kanker adalah vonis kematian. Hanya itu
yang kutahu saat itu. Apalagi kondisiku sangat buruk maka makin lengkaplah
ketakutanku. Inilah yang di namakan suratan takdir, dan aku harus legowo
menerimanya, berdamai dengan sakitku di saat aku bersemangat menyelesaikan
studiku dan senang mendapat challenge
tesisku tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Aku tidak hanya di vonis tapi
harus memvonis diriku sendiri dan egois hanya berpikir diri sendiri supaya
kembali sehat.
Menjaga semangat sungguh tidak mudah.
Teorinya semua orang tahu harus semangat tapi menjaganya kurasakan penuh dengan
perjuangan. Aku tahu harus segera melangkah menjalani proses berobat tapi
kondisiku sepulang dari rumah sakit malah memburuk, aku merasakan nyeri yang
sangat luar biasa di seluruh bagian tubuh sisi kanan, napasku juga tersengal
dan harus dibantu oksigen ( sakitku sudah metastase
atau menyebar ke paru kanan ). Aku benar benar merasakan sedih dan terpuruk,
bila sakit menyerang aku pernah berpikir menyerah karena aku tahu resikonya
meneruskan berobat membutuhkan biaya yang besar dan aku tidak siap secara
finansial. Sampai kapan merasakan nyeri harus berobat dan
sebagainya membuatku ‘pernah’ putus asa..sudahlah obatnya tidak usah diminum
karena percuma tetap saja aku kesakitan dan sebagainya. Sampai akhirnya lagi-lagi
Anaf, anakku mengingatkan aku dengan caranya untuk tetap fokus berobat supaya
sembuh dan menemaninya hingga anak cucu.
‘Mama pasti sembuh..obatnya harus diminum..aku sedih kalau mama
sakit..aku selalu butuh mama’
Sebuah penggalan kalimat pendek yang
sering disampaikan anakku saat melihat aku rewel minum obat, berderai airmata
merasakan saat-saat nyeri atau sesak napas melanda.
Duhai anakku tersayang, tidak ada yang
lebih membahagiakan orang tua selain mendengar anak men-support ibundanya berjuang meneruskan hidupnya dan bagiku
kalimat-kalimat sederhana dari anakku saat mendampingiku,
meladeniku, menyuapiku, merawatku ternyata menjadi energi yang luar biasa. Aku
harus FOKUS sembuh.
Lembaga tempatku bekerja sangatlah
membantu kesembuhanku, aku diijinkan istirahat total . Alhamdulillah itu mengurangi beban pikiranku. Aku memulai dengan
banyak browsing tentang penyakitku.
Aku juga bergabung di grup penderita kanker supaya aku punya lebih banyak
wawasan dari pengalaman sesama penderita. Aku mendapatkan banyak support dari keluarga, tetangga, sahabat
sekolahku SD hingga kuliah, Ibu Direktur serta teman-teman kantorku,
murid-muridku juga walimurid. Sangat kusyukuri karena aku merasa tidak
sendirian. Semua memberi support
untuk sehat, meski sesungguhnya aku malu ketika merasakan nyeri, aku tidak berdaya dan
tidak ingin dilihat siapapun. Namun aku sadar dan sangat menghargai perhatian
yang diberikan ternyata mampu menumbuhkan semangat untukku.
Setelah bertanya dan banyak membaca aku
memutuskan untuk berobat ke Jakarta karena melihat tetanggaku sembuh menjalani
pengobatan disana. Aku memutuskan berobat medis meski aku masih belum tahu
berapa biayanya, aku hanya berdoa Ya Allah, mudahkan dan mampukan aku untuk
menyelesaikan pengobatanku. Memilih medis yang menurut akalku sebagai orang awam yang hanya berpikirku
sangat sederhana:
bukankah sekolah dokter itu sulit jadi pastilah pintar
menyembuhkan.
Inilah awal masa yang baru yang menurutku penuh ke
egoisan. Aku harus hanya berpikir
untuk kesehatanku. Menjalani masa berat kemoterapi adalah hal yang sangat ngeri
bila kuingat. Setiap mau berangkat aku selalu berdoa, Ya Allah ampuni aku, aku
mohon mukjizat untuk kesembuhanku, aku mau kemoterapi sebagai bagian dari
ikhtiarku maka janganlah setelahnya aku dihinggapi rasa sakit yang sangat. Subhanallah meski aku harus merelakan
rambut berguguran, kulit mengering dan mual serta lemas tapi aku merasakan
hatiku tenang. Aku sungguh-sungguh merubah pola makanku. Tubuhku harus kujaga
supaya basa dan butuh asupan antioksidan tinggi sehingga aku berusaha mencari
alternatif makan buah yang mengandung antioksidan seperti kiwi serta minuman
yang sifatnya harus alkalizing seperti
air kangen water. Aku sangat terbantu sahabat-sahabat baikku yang selalu mengingatkan
dan menemaniku dengan telaten..terimakasih Ms Umi, Ms Wulan, Ms Hid, Kakak Ela,
Erna Pramu dan keluarga Dokter
Dea Aziz, bahkan ada
walimuridku yang selalu bergantian menyiapkan makanan sehat untukku..terimakasih
Mama Ossa Ryan,
Ibu Lita Arkan, Bapak Ibu Wahyu Austin, Ibu Tami, Mama Ina, keluarga
besar pengajian Az Zahro dan pengajian Samara. Meski rasanya tidak ada nafsu
makan bahkan mual hebat aku tetap mencobanya karena aku yakin bisa sehat dan
menghargai yang memberi. Staminaku harus dijaga supaya tidak mudah drop menjalani rangkaian pengobatan yang
terasa panjang bin menjemukan Memang benar rejeki tidak selalu berupa materi,
teman kerabat yang penuh perhatian juga rejeki. Alhamdulillah.
Aku harus mengikuti’tradisi’ dokter,
menuruti semua proses medis dengan tertib dan menurut. Semua sudah teratur baik
dan meski dalam prakteknya beberapa kali aku harus tumbang dan dirawat di rumah
sakit, aku tetap merasa optimis kesehatanku membaik. Minimal rasa nyeri mulai
berkurang meski masih saja bagian ini sangat betah bersarang di bagian kanan
tubuhku. Dalam proses penyembuhan ini Allah masih teramat sayang dengan menguji
kesabaranku. Ada 2 peristiwa yang menggoncangkan hatiku dan membuat kondisi
kesehatanku menurun dan harus menjalani rawat inap lagi.
Peristiwa pertama adalah kehilangan teman
kerja yang bersamaan denganku menderita kanker darah, Ia memutuskan berobat di
Sukabumi, namun hal itu hanya bertahan sekitar 6 bulan, dan akhirnya harus
menyerah dan pergi untuk selamanya. Tidak ada yang tahu betapa besar ikatan emosional kami
sebagai sesama penderita meski beda kota hubungan kami sangat dekat, hampir
setiap hari selalu memberi semangat dan menceritakan kegiatan ikhtiar. Aku
sangat kehilangan teman yang sungguh mengerti bagaimana sakit dan cemasnya
menghadapi penyakit ini. Innalillahi wa ‘innailaihi roji’un,
dalam sesak napasku dan keadaanku memburuk aku berusaha menguasai diriku dan
mendoakanmu sahabatku, semoga khusnul khatimah. Sedikit banyak kematiannya
membuatku ketakutan dan menurunkan semangatku meneruskan proses kemo, aku
sempat berpikir temanku bertahan 6 bulan lantas bagaimana denganku? Istighfar mama, begitu kata anakku saat
menungguiku di Rumah Sakit. Lagi-lagi
Allah menitipkan penyemangat kesayangan dengan melihat selalu anakku setia menunggu
disisiku saat aku harus di rawat, meski anakku harus berkorban sering tidak masuk sekolah.
Peritiwa kedua adalah hempasan fitnah
kepadaku tentang sakitku, aku tidak mengerti mengapa orang begitu mudah
berprasangka buruk. Kondisi sakit seseorang tidaklah sama, cara bersahabat
dengan penyakit juga tidak sama. Memang aku cenderung tidak ingin terlihat
sakit karena sesungguhnya aku sangat senang di tengok sehingga aku harus
bergembira menyambut tamu tamu yang menengokku, sebisa mungkin aku pasti menyambut
bila tidak bisa bangun aku berusaha duduk. Apa daya rasa nyeri kadang tidak
kuasa kutahan. Tidak ada orang yang mau sakit dan mendapat kabar bahwa diluaran
sana beredar kabar yang menyakitkan membuatku juga sedih dan makin nyeri.
Lagi-lagi hanya istighfar, semoga
Allah mengampuni dosa yang sudah menyebar kabar tidak benar dan jangan sampai
merasakan sakit sepertiku.
Berbagai peristiwa yang terjadi
membuatku merenung dan introspeksi, aku pasrah Ya Allah. Aku ingin sembuh dan
dari situ aku mulai menutup diri, karena rasanya aku tidak kuasa membedakan
yang sungguh tulus baik dan yang tidak. Lebih baik aku menyendiri dan fokus
kesehatanku. 5 bulan berlalu, aku soliter
dan keadaanku mulai membaik, rasa nyeri berangsur hilang dan kemo sudah
kuselesaikan. Aku masih belum kuat beraktivitas namun sudah bisa membaca cukup
lama, aku memutuskan kembali kekampus menyelesaikan tesisku yang tertunda. Pihak
kampus memberi semangat untukku menyelesaikan. Aku bersyukur bisa ujian tesis
ditunggui saudara dan anakku, meski harus membawa oksigen dan di dorong
menggunakan kursi roda. Alhamdulillah satu
persatu tanggung jawabku akan berusaha kuselesaikan.
Berlalu 7 bulan dan perkembanganku makin
membaik, aku sudah bisa melakukan aktivitas ringan di dalam rumah, belajar hidroponik,
memasak dan olah raga ringan. Hingga suatu saat aku mencoba mengikuti nyanyian
di tv dan suaraku perlahan menghilang, tidak stabil dan aku merasakan nyeri
serta sesak napas. Aku sadar, suara dan stamina adalah modal seorang guru,
lantas bagaimana denganku?
Sudah lama aku tidak menangis dan ketika
pada kesadaran itu air mataku menetes
kembali, aku lagi-lagi di hadapkan kenyataan
pahit, aku harus menerima kenyataan bahwa fisikku sudah tidak seperti dulu.
Sungguh ujian yang berat karena aku sangat mencintai anak-anak muridku, dunia
pendidikan adalah passionku. Aku
harus memutuskan sesuatu yang pilihannya tidak menyenangkan untukku. Ya, hingga
di puncak kesadaran aku harus egois lagi bila ingin benar-benar sehat, aku
sungguh dipersimpangan jalan..Ya Allah, aku tidak bisa membagi ‘kesehatanku’
dengan pekerjaanku, dengan murid-murid yang kusayang, karena memang tidak perlu
dibagi. Baiklah aku harus berlapang dada menghadapi kenyataan kesehatanku tidak
bisa di pertaruhkan lagi. Aku menghadap Direktur sebagai bentuk tanggung
jawabku menerima kenyataan. Aku membawa surat pengunduran diriku. Menurutku hal
ini jauh lebih baik untukku. Aku sangat bersyukur, seperti kuduga responnya
sangat bagus, beliau sangat bijak menerima
alasanku mundur dari dunia yang berpuluh tahun kutekuni, meski
aku diberi pilihan yang meringankanku aku tetap memutuskan pamit mundur. Yang
tidak kusangka adalah asuransi masih melekat untukku. Asuransi dari kantorku
selama ini sangat membantu pengobatanku meski tidak sepenuhnya. Terimakasih Perguruan Budi Mulia Dua Yogyakarta dan
terkhusus Ibu Nanis.
Syukuri apa yang ada...
Hidup adalah anugerah...
Tetap jalani hidup ini...
Melakukan yang TERBAIK..
Hidup adalah anugerah...
Tetap jalani hidup ini...
Melakukan yang TERBAIK..
5
Agustus 2016, tepat setahun berlalu dari vonis sakitku. Syair itu terasa lebih indah kunyanyikan
perlahan, menyeruak begitu mendalam di hatiku. Dunia anak-anak yang harus
kutinggalkan dan mengisi sisa waktu yang harus lebih manfaat.
So
I lay my head back down..
And I lift my hands and pray to be only yours..
I know now you’re my ONLY HOPE..( Only Hope by Mandy Moore)
And I lift my hands and pray to be only yours..
I know now you’re my ONLY HOPE..( Only Hope by Mandy Moore)
Yogyakarta, 5 Agustus 2016
**Tulisan
ini saya dedikasikan untuk ananda tercinta: Fauzi Ahnaf Pratama (jangan pernah
menyerah sebelum mencoba dan tetaplah santun serta rendah hati), kepada
teman-teman penderita kanker dan sakit apapun yang sedang berjuang untuk sehat
(ikhtiar, doa, fokus dan
semangat)
![]() |
Aku dan anakku tercinta, Anaf |
![]() |
Aku dan Ibu terhebat |
![]() |
Bersama Ayah tersayang |