Senin, 08 Agustus 2016

Ketika Hasrat Hidup Harus Dipertaruhkan

Ruangan besar di aula sekolah terasa kian hening ketika alunan lagu Only Hope dimainkan Riri dengan pianonya. Suara denting piano membuat kesan indah itu serasa emosional oleh perpaduan tema dan lirik lagu yang pas. Riri memainkan lagu Mandy Moore  dengan sempurna bagi telingaku. Seiring tuntas permainan pianonya, rasa haru menyeruak seketika tatkala Riri menyebut namaku. “Sudah Bu Ratna, turunkan aku,” sambil tersenyum ia minta pertolonganku untuk memapahnya, untuk kembali duduk di kursi rodanya.
Usianya 8 tahun 4 bulan saat orangtuanya membawa Riri mendaftar pindah sekolah. Secara fisik keadaan Riri biasa saja, tetapi dari sorot matanya ia terlihat tidak fokus. Kakinya terkena penyakit Polio. Riri juga didiagnosa autisme, salah satu karakter kognitif yang dominan adalah bermasalah dengan teori berpikir dan pemecahan masalah. Sambil menangis, orangtuanya bercerita bahwa dalam setahun itu Riri sudah 2 kali pindah sekolah karena sikapnya sering tidak terkendali dan sering dianggap merugikan sekolah. Tingkahnya yang tidak bisa kulupa di sesi wawancara orangtua itu adalah saat pandangan Riri tertuju pada pianika di atas meja kerjaku. Riri langsung mengambilnya untuk dimainkan meski dengan nada asal. Tanpa kusadari, Riri sudah mencuri perhatianku dan berjanji pada diriku untuk membantunya bangkit dari ‘dunia asing’nya. Akan kutemani Riri menjemput masa depan dengan kemampuan musikalitasnya yang tinggi. Bukan kepada Riri saja, aku selalu ingin menemani murid-muridku yang lain ketika  mereka berproses menemukan dunia mereka sendiri.
***
Suatu petang … tiba-tiba ……bruuuk …. dunia terasa gelap saat aku jatuh pingsan di depan sebuah warung makan. Aku tersadar setelah berada di rumah sakit. Kurasakan badanku demam dan terasa sakit semua.“Rawat inap,” kata itu diucapkan seorang dokter kepadaku di ruang UGD Rumah Sakit di Yogyakarta. Demamku sudah lebih 4 hari karenanya harus diobservasi dan perlu rawat inap. Dalam tiada berdaya, kujawab lirih, “iya”.
Dari hasil pemeriksaan, demamku berasal dari benjolan di dalam payudara kanan yang meradang besar dan memerah akibat infeksi. Jalan keluarnya, “operasi!” kata dokter. Kata itu jelas-jelas bukan mantra penjinak kegalauan. Kata itu pula yang beberapa tahun ini kuhindari demi berharap datangnya mukjizat agar benjolan itu raib sendiri.
 “Operasi itu hal biasa, tidak apa apa,” demikian komentar banyak orang berusaha menenangkanku. Tetapi yang kurasakan: sampai hari ketiga usai operasi, tubuhku tanpa tenaga, lemas dan terus muntah, dan rasa nyeri di bagian dada. Lagi-lagi, untuk menenangkanku, para kerabat yang menengokku menyampaikan, “tidak apa apa. kemungkinan itu efek dari bius.”
Sampai beberapa waktu aku dirawat oleh dokter anestesi, dokter bedah, dokter penyakit dalam, serta ditambah dokter paru karena setelah operasi kondisiku tambah sesak napas. Aku masih harus sabar menunggu hasil biopsi untuk menentukan pengobatan selanjutnya. Tatapan tak berdaya yang mengiringi deraian air mataku mencekat lidahku sehingga bungkam ketika aku mengikuti sesi konsultasi di kamar Rumah Sakit. Dokter memberikan surat dari Patologi Klinik yang menerangkan tentang hasil biopsi. Di penghujung surat ada kalimat yang tertulis memanjang:
Sitologi AJH regio mammae sinistra: didapatkan sel ganas, karsinoma duktal grade 3-4.”
Pemahamanku  berebut tempat di dalam pikiran ketika dokter berusaha menjelaskan panjang lebar kondisiku sambil melihat rekam medisku. Pikiranku menerobos lorong waktu saat awal masuk rumah sakit. Aku terjatuh usai menderita demam tinggi. Hal itu bisa jadi karena kanker payudara mengalami inflamasi sehingga tidak ketahuan dan sering dianggap infeksi atau yang biasa disebut mastitis, sehingga aku diberi obat antibiotik. Memang, sebelum jatuh pingsan, aku sudah merasakan demam cukup lama. Rasa sakit itu hanya kusuapi dengan parasetamol.
Dokter menambahkan keterangan ini …itu … bla .. bla .. bla … dan seterusnya … dan yang kutangkap hanya dua kata: kanker payudara, titik! Kata itu begitu sakti menyedot seluruh emosiku melebihi rasa sakit nyeri dan sesak napas yang kurasakan. Aku terdiam beberapa saat, dan setelah bisa mengusai diriku dan menahan air mata, dalam kepasrahan kukatakan dengan lirih, “Alhamdulillah, Allah sangat sayang pada saya, dok ....saya diingatkan betapa besar kuasa-Nya dengan diberi rejeki sakit …. Bismillah, saya ikhlas dan insyaAllah saya sembuh ya, dok.”
Sejenak kami sama sama terdiam sesaat. Seperti kaget dengan reaksiku, dokter itu berkata, ‘Ibu, insyaAllah akan sembuh. Allah mendengar yang tadi ibu ucapkan. Ikhlas, semangat, dan ikhtiar ya Bu. Setelah ini, Ibu akan menjalani proses pengobatan yang panjang …. …… ” aku sudah tidak mampu mendengarkan lagi.
Tak ada manusia yang terlahir sempurna...
Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi..
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat..
Seakan hidup ini tiada artinya lagi..
Bait lagu DMasiv yang sangat inspiratif menjadi sangat melodramatis di tengah keadaanku saat itu. Aku menangis dalam kebingungan yang khusyuk: Aku harus bagaimana? Mengapa harus aku yang mengalami? Bagaimana dengan murid-muridku (terbayang wajah cantik Riri dan murid-muridku yang lain)? Bagaimanadengan studiku (kebetulan saat itu aku sedang tahap penyelesaian studi magister yang dibiayai oleh lembaga tempatku bekerja). Bagaimana dengan anakku? Dalam tangisanku, semua pertanyaan harus kutelan sendiri. Mungkin benar, saat itu aku sedang mengalami fase denial, fase pengingkaran seperti tidak percaya kenyataan bahwa itu tidak mungkin terjadi apalagi aku sangat menjaga pola makan dan rajin berolahraga.


Sampai di sini...
Sampai kemudian mengingat nama Anaf anakku menghentikan tangisanku seketika. Astaghfirullah hal ‘adzim, aku istighfar berulang hingga tangisku berhenti..Allah pasti tidak salah memberi cobaan hamba NYA, kalau aku sayang pada Anaf dan masih ingin mendampinginya maka aku harus luruskan niatku untuk sembuh. Kewajibanku adalah ikhtiar dan selebihnya kuasa Allah penentunya.
Kanker adalah vonis kematian. Hanya itu yang kutahu saat itu. Apalagi kondisiku sangat buruk maka makin lengkaplah ketakutanku. Inilah yang di namakan suratan takdir, dan aku harus legowo menerimanya, berdamai dengan sakitku di saat aku bersemangat menyelesaikan studiku dan senang mendapat challenge tesisku tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Aku tidak hanya di vonis tapi harus memvonis diriku sendiri dan egois hanya berpikir diri sendiri supaya kembali sehat.
Menjaga semangat sungguh tidak mudah. Teorinya semua orang tahu harus semangat tapi menjaganya kurasakan penuh dengan perjuangan. Aku tahu harus segera melangkah menjalani proses berobat tapi kondisiku sepulang dari rumah sakit malah memburuk, aku merasakan nyeri yang sangat luar biasa di seluruh bagian tubuh sisi kanan, napasku juga tersengal dan harus dibantu oksigen ( sakitku sudah metastase atau menyebar ke paru kanan ). Aku benar benar merasakan sedih dan terpuruk, bila sakit menyerang aku pernah berpikir menyerah karena aku tahu resikonya meneruskan berobat membutuhkan biaya yang besar dan aku tidak siap secara finansial. Sampai kapan merasakan nyeri harus berobat dan sebagainya membuatku ‘pernah’ putus asa..sudahlah obatnya tidak usah diminum karena percuma tetap saja aku kesakitan dan sebagainya. Sampai akhirnya lagi-lagi Anaf, anakku mengingatkan aku dengan caranya untuk tetap fokus berobat supaya sembuh dan menemaninya hingga anak cucu.
‘Mama pasti sembuh..obatnya harus diminum..aku sedih kalau mama sakit..aku selalu butuh mama’
Sebuah penggalan kalimat pendek yang sering disampaikan anakku saat melihat aku rewel minum obat, berderai airmata merasakan saat-saat nyeri atau sesak napas melanda.
Duhai anakku tersayang, tidak ada yang lebih membahagiakan orang tua selain mendengar anak men-support ibundanya berjuang meneruskan hidupnya dan bagiku kalimat-kalimat sederhana dari anakku saat mendampingiku, meladeniku, menyuapiku, merawatku ternyata menjadi energi yang luar biasa. Aku harus FOKUS sembuh.
Lembaga tempatku bekerja sangatlah membantu kesembuhanku, aku diijinkan istirahat total . Alhamdulillah itu mengurangi beban pikiranku. Aku memulai dengan banyak browsing tentang penyakitku. Aku juga bergabung di grup penderita kanker supaya aku punya lebih banyak wawasan dari pengalaman sesama penderita. Aku mendapatkan banyak support dari keluarga, tetangga, sahabat sekolahku SD hingga kuliah, Ibu Direktur serta teman-teman kantorku, murid-muridku juga walimurid. Sangat kusyukuri karena aku merasa tidak sendirian. Semua memberi support untuk sehat, meski sesungguhnya aku malu ketika merasakan nyeri, aku tidak berdaya dan tidak ingin dilihat siapapun. Namun aku sadar dan sangat menghargai perhatian yang diberikan ternyata mampu menumbuhkan semangat untukku.
Setelah bertanya dan banyak membaca aku memutuskan untuk berobat ke Jakarta karena melihat tetanggaku sembuh menjalani pengobatan disana. Aku memutuskan berobat medis meski aku masih belum tahu berapa biayanya, aku hanya berdoa Ya Allah, mudahkan dan mampukan aku untuk menyelesaikan pengobatanku. Memilih medis yang menurut akalku sebagai orang awam yang hanya berpikirku sangat sederhana: bukankah sekolah dokter itu sulit jadi pastilah pintar menyembuhkan.
Inilah awal masa yang baru yang menurutku penuh ke egoisan. Aku harus hanya berpikir untuk kesehatanku. Menjalani masa berat kemoterapi adalah hal yang sangat ngeri bila kuingat. Setiap mau berangkat aku selalu berdoa, Ya Allah ampuni aku, aku mohon mukjizat untuk kesembuhanku, aku mau kemoterapi sebagai bagian dari ikhtiarku maka janganlah setelahnya aku dihinggapi rasa sakit yang sangat. Subhanallah meski aku harus merelakan rambut berguguran, kulit mengering dan mual serta lemas tapi aku merasakan hatiku tenang. Aku sungguh-sungguh merubah pola makanku. Tubuhku harus kujaga supaya basa dan butuh asupan antioksidan tinggi sehingga aku berusaha mencari alternatif makan buah yang mengandung antioksidan seperti kiwi serta minuman yang sifatnya harus alkalizing seperti air kangen water. Aku sangat terbantu sahabat-sahabat baikku yang selalu mengingatkan dan menemaniku dengan telaten..terimakasih Ms Umi, Ms Wulan, Ms Hid, Kakak Ela, Erna Pramu dan keluarga Dokter Dea Aziz, bahkan ada walimuridku yang selalu bergantian menyiapkan makanan sehat untukku..terimakasih Mama Ossa Ryan, Ibu Lita Arkan, Bapak Ibu Wahyu Austin, Ibu Tami, Mama Ina, keluarga besar pengajian Az Zahro dan pengajian Samara. Meski rasanya tidak ada nafsu makan bahkan mual hebat aku tetap mencobanya karena aku yakin bisa sehat dan menghargai yang memberi. Staminaku harus dijaga supaya tidak mudah drop menjalani rangkaian pengobatan yang terasa panjang bin menjemukan Memang benar rejeki tidak selalu berupa materi, teman kerabat yang penuh perhatian juga rejeki. Alhamdulillah.
Aku harus mengikuti’tradisi’ dokter, menuruti semua proses medis dengan tertib dan menurut. Semua sudah teratur baik dan meski dalam prakteknya beberapa kali aku harus tumbang dan dirawat di rumah sakit, aku tetap merasa optimis kesehatanku membaik. Minimal rasa nyeri mulai berkurang meski masih saja bagian ini sangat betah bersarang di bagian kanan tubuhku. Dalam proses penyembuhan ini Allah masih teramat sayang dengan menguji kesabaranku. Ada 2 peristiwa yang menggoncangkan hatiku dan membuat kondisi kesehatanku menurun dan harus menjalani rawat inap lagi.
 Peristiwa pertama adalah kehilangan teman kerja yang bersamaan denganku menderita kanker darah, Ia memutuskan berobat di Sukabumi, namun hal itu hanya bertahan sekitar 6 bulan, dan akhirnya harus menyerah dan pergi untuk selamanya. Tidak ada yang tahu betapa besar ikatan emosional kami sebagai sesama penderita meski beda kota hubungan kami sangat dekat, hampir setiap hari selalu memberi semangat dan menceritakan kegiatan ikhtiar. Aku sangat kehilangan teman yang sungguh mengerti bagaimana sakit dan cemasnya menghadapi penyakit ini. Innalillahi wa innailaihi rojiun, dalam sesak napasku dan keadaanku memburuk aku berusaha menguasai diriku dan mendoakanmu sahabatku, semoga khusnul khatimah. Sedikit banyak kematiannya membuatku ketakutan dan menurunkan semangatku meneruskan proses kemo, aku sempat berpikir temanku bertahan 6 bulan lantas bagaimana denganku? Istighfar mama, begitu kata anakku saat menungguiku di Rumah Sakit. Lagi-lagi Allah menitipkan penyemangat kesayangan dengan melihat selalu anakku setia menunggu disisiku saat aku harus di rawat, meski anakku harus berkorban sering tidak masuk sekolah.
Peritiwa kedua adalah hempasan fitnah kepadaku tentang sakitku, aku tidak mengerti mengapa orang begitu mudah berprasangka buruk. Kondisi sakit seseorang tidaklah sama, cara bersahabat dengan penyakit juga tidak sama. Memang aku cenderung tidak ingin terlihat sakit karena sesungguhnya aku sangat senang di tengok sehingga aku harus bergembira menyambut tamu tamu yang menengokku, sebisa mungkin aku pasti menyambut bila tidak bisa bangun aku berusaha duduk. Apa daya rasa nyeri kadang tidak kuasa kutahan. Tidak ada orang yang mau sakit dan mendapat kabar bahwa diluaran sana beredar kabar yang menyakitkan membuatku juga sedih dan makin nyeri. Lagi-lagi hanya istighfar, semoga Allah mengampuni dosa yang sudah menyebar kabar tidak benar dan jangan sampai merasakan sakit sepertiku.
Berbagai peristiwa yang terjadi membuatku merenung dan introspeksi, aku pasrah Ya Allah. Aku ingin sembuh dan dari situ aku mulai menutup diri, karena rasanya aku tidak kuasa membedakan yang sungguh tulus baik dan yang tidak. Lebih baik aku menyendiri dan fokus kesehatanku. 5 bulan berlalu, aku soliter dan keadaanku mulai membaik, rasa nyeri berangsur hilang dan kemo sudah kuselesaikan. Aku masih belum kuat beraktivitas namun sudah bisa membaca cukup lama, aku memutuskan kembali kekampus menyelesaikan tesisku yang tertunda. Pihak kampus memberi semangat untukku menyelesaikan. Aku bersyukur bisa ujian tesis ditunggui saudara dan anakku, meski harus membawa oksigen dan di dorong menggunakan kursi roda. Alhamdulillah satu persatu tanggung jawabku akan berusaha kuselesaikan.
Berlalu 7 bulan dan perkembanganku makin membaik, aku sudah bisa melakukan aktivitas ringan di dalam rumah, belajar hidroponik, memasak dan olah raga ringan. Hingga suatu saat aku mencoba mengikuti nyanyian di tv dan suaraku perlahan menghilang, tidak stabil dan aku merasakan nyeri serta sesak napas. Aku sadar, suara dan stamina adalah modal seorang guru, lantas bagaimana denganku?
Sudah lama aku tidak menangis dan ketika pada kesadaran itu air mataku menetes kembali, aku lagi-lagi di hadapkan kenyataan pahit, aku harus menerima kenyataan bahwa fisikku sudah tidak seperti dulu. Sungguh ujian yang berat karena aku sangat mencintai anak-anak muridku, dunia pendidikan adalah passionku. Aku harus memutuskan sesuatu yang pilihannya tidak menyenangkan untukku. Ya, hingga di puncak kesadaran aku harus egois lagi bila ingin benar-benar sehat, aku sungguh dipersimpangan jalan..Ya Allah, aku tidak bisa membagi ‘kesehatanku’ dengan pekerjaanku, dengan murid-murid yang kusayang, karena memang tidak perlu dibagi. Baiklah aku harus berlapang dada menghadapi kenyataan kesehatanku tidak bisa di pertaruhkan lagi. Aku menghadap Direktur sebagai bentuk tanggung jawabku menerima kenyataan. Aku membawa surat pengunduran diriku. Menurutku hal ini jauh lebih baik untukku. Aku sangat bersyukur, seperti kuduga responnya sangat bagus, beliau sangat bijak menerima alasanku mundur dari dunia yang berpuluh tahun kutekuni, meski aku diberi pilihan yang meringankanku aku tetap memutuskan pamit mundur. Yang tidak kusangka adalah asuransi masih melekat untukku. Asuransi dari kantorku selama ini sangat membantu pengobatanku meski tidak sepenuhnya. Terimakasih Perguruan Budi Mulia Dua Yogyakarta dan terkhusus Ibu Nanis.
Syukuri apa yang ada...
Hidup adalah anugerah...
Tetap jalani hidup ini...
Melakukan yang TERBAIK..
5 Agustus 2016, tepat setahun berlalu dari vonis sakitku. Syair itu terasa lebih indah kunyanyikan perlahan, menyeruak begitu mendalam di hatiku. Dunia anak-anak yang harus kutinggalkan dan mengisi sisa waktu yang harus lebih manfaat.
So I lay my head back down..
And I lift my hands and pray to be only yours..
I know now you’re my ONLY HOPE..( Only Hope by Mandy Moore)


                                                              Yogyakarta, 5 Agustus 2016

**Tulisan ini saya dedikasikan untuk ananda tercinta: Fauzi Ahnaf Pratama (jangan pernah menyerah sebelum mencoba dan tetaplah santun serta rendah hati), kepada teman-teman penderita kanker dan sakit apapun yang sedang berjuang untuk sehat (ikhtiar, doa, fokus dan 
semangat)  

Aku dan anakku tercinta, Anaf

Aku dan Ibu terhebat

Bersama Ayah tersayang